Jumlah pengunjung
Kisah muallaf -Isa Graham, Nekat Mencuri Al-Qur’an Demi Membuktikan Kebenaran Injil
Baris demi baris kalimat dalam kitab setebal 500-an halaman yang
dibacanya hanya menyisakan satu kesan di benaknya; kagum. Dan kekaguman
yang bercampur rasa ingin tahu menjadi satu alasan bagi pemuda bernama
Brent Lee Graham untuk mencuri buku itu dari perpustakaan kampusnya.
Dengan
desain sampul yang menurutnya eksotis, buku berbahasa Inggris itu
lebih dari sekadar menarik bagi Brent. Selain menyajikan berbagai
cerita indah para nabi, buku itu berisi banyak kisah mengagumkan yang
tak banyak ia ketahui.
“Saat itu aku baru berusia 17
tahun,” Brent mengawali kisahnya pada Republika, di sebuah pusat
perbelanjaan Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.
-0-0-
Semua
berawal dari perenungannya tentang kematian. Brent yang telah mengubah
namanya menjadi Isa Graham itu masih mengingat jelas dua peristiwa
yang membuka matanya tentang kematian, hal yang tak pernah
menyibukkannya.
Masa mudanya yang akrab dengan musik
membuat Brent dekat dengan pesta. Dan pesta pada malam itu berbeda.
“Aku terus mengingatnya hingga sekarang,” ujar pria yang pernah belajar
di sekolah musik itu.
Malam itu, sebelum memasuki rumah tempat
pesta digelar, Brent melihat beberapa orang membawa keluar sesosok
tubuh lunglai seorang pemuda mabuk. Pemuda itu lalu diletakkan di salah
satu sisi halaman rumah, dan ditinggalkan bersama mereka yang lebih
dulu tak sadarkan diri karena alkohol. Tak ada pertolongan, tak ada
obat-obatan. “Aku berpikir, bagaimana jika mereka mati?” ujarnya.
Brent
tak dapat membenarkan apa yang baru dilihatnya. Terlebih, ketika ia
berharap ada sedikit kepedulian di sana, Brent justru mendapati
sebaliknya. “Beberapa orang yang baru datang ke pesta berlalu begitu
saja saat melewati mereka yang tergeletak di halaman. Itu menyedihkan,”
katanya.
Terhenyak, Brent mendengar teriakan dari dalam rumah,
memanggilnya. Teman-temannya meminta Brent masuk dan memainkan musik
untuk mereka.” Brent masuk dengan sebuah pertanyaan menghantuinya.
“Jika aku mengalami hal menyedihkan seperti orang-orang yang ada di
halaman itu dan kemudian mati, apakah mereka akan memikirkan
keadaanku?”
Keesokannya, sebuah peristiwa lain kembali
menghentak hati Brent, memaksanya merenungi segala hal dalam hidupnya.
“Seorang dosen mendatangi kelasku dan membawa berita kematian salah
seorang teman sekelas kami,” kenangnya. Brent terguncang.
Ia
semakin teguncang mengetahui teman sekelasnya itu meninggal karena
heroin. Brent menjelaskan, semua orang di kampus tahu teman mereka yang
baru meninggal itu tak pernah menggunakan heroin. “Dan ia meninggal
pada percobaan pertamanya menggunakan obat terlarang itu,” Isa menghela
nafas. “Hidup begitu singkat.”
Perasaan takut menyergap
Brent. Dan remaja 17 tahun itu mulai memikirkan kehidupannya, juga
kematian yang ia tahu akan menghampirinya.
Brent memiliki
seorang Ibu yang menjadi pengajar Injil, dan menyekolahkan Brent di
sebuah sekolah Injil. “Aku mengetahui isi kitab suciku. Dan karenanya,
aku banyak bertanya tentang agamaku,” kata Brent.
Brent tahu,
nabi-nabi yang diutus jauh sebelum Yesus lahir menyampaikan ajaran yang
sama, yakni tauhid. “Pun Yesus. Dalam Injil dijelaskan bahwa ia
menyerukan tauhid. Dan itu bertentangan dengan konsep Trinitas yang
diajarkan gereja,” ujarnya.
Siang itu, saat membaca
terjemahan Alquran di perpustakaan kampus, Brent dikejutkan oleh sebuah
ayat yang mengatakan bahwa Yesus bukanlah anak Tuhan. “Ayat itu seolah
menjawab keraguanku tentang Trinitas,” katanya.
“Wahai
Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah
kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al
Masih, Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan
dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan
tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan
rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: “(Tuhan itu) tiga”,
berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya
Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala
yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah sebagai
Pemelihara.” (An-Nisa’: 171)
Brent mencuri Alquran itu
dari perpustakaan, dan mulai berinteraksi dengan Alquran. Keterkejutan
terbesar muncul saat ia membaca ayat-ayat tentang Yesus. “Alquran
memuat cerita tentang kelahirannya yang menakjubkan, tentang ibunya
yang mulia, juga keajaiban yang tidak diceritakan dalam Injil, ketika
dari buaian ia membela kehormatan ibunya.”
Penemuan hari
itu membawa Brent pada sebuah misi pembuktian. “Aku bertekad menemukan
pernyataan Injil yang akan mampu menjawab pernyataan Alquran. Dan Brent
menemukannya. Sayang, jawaban itu sama sekali tak mendukung doktrin
agamanya, dan justru membenarkan Alquran.
Dalam Injil Yohanes 3:16 misalnya, tulis Brent dalam artikel “My Passion for Jesus Christ” (muslimmatters.org),
disebutkan tentang anak Tuhan dan kehidupan abadi bagi siapapun yang
mempercayainya. “Jika kita terus membaca, kita akan bertemu Matius 5:9
atau Lukas 6:35 yang menjelaskan bahwa sebutan ‘anak Tuhan’ tidak hanya
untuk Yesus,” katanya.
Brent menambahkan, baik dalam
teks Perjanjian Baru dan juga Perjanjian Lama, Injil menggunakan
istilah “anak Tuhan” untuk menyebut orang yang saleh. “Dalam Islam,
kita menyebutnya muttaqun (orang-orang yang bertakwa),” jelas Isa.
Dalam
pencarian yang semakin dalam, Brent menemukan bahwa ayat terbaik yang
dapat membuktikan doktrin trinitas telah dihapuskan dari Injil. “Ayat
itu dulu dikenal sebagai Yohanes 5:7, dan kini secara universal
diyakini sebagai sebuah ayat sisipan yang penah secara sengaja
ditambahkan oleh gereja,” terang Isa yang kemudian menguraikan hasil
penelitian seorang profesor peneliti Injil asal Dallas, Daniel B.
Wallace, tentang ayat tersebut.
Dari The New Encyclopedia
Britannica yang dibacanya, Brent menemukan pula bahwa tidak satupun
doktrin dalam Perjanjian Baru, termasuk kata Trinitas ataupun perkataan
Yesus sekalipun, bertentangan dengan pengakuan Yahudi tentang
ketauhidan yang disebutkan dalam Perjanjian Lama (Injil Ulangan 6:4).
Brent
berkesimpulan, bukan Yesus ataupun para pengikutnya yang mengajarkan
Trinitas. “Dan mereka yang mengajarkan Trinitas menambahkan keyakinan
yang dibuat-buat ke dalam Injil?” ia bertanya, sekaligus menjawab
pertanyaan yang muncul di otaknya.
Setelah mencapai
kesimpulan yang sulit diterimanya itu, ia menemukan sebuah peringatan
dalam Injil Perjanjian Lama. “… jika seseorang menambahkan (atau
mengurangi) sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan
menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam
kitab ini.” (Wahyu 22:18-19)
“Ayat itu senada dengan
pernyataan Alquran,” tandas Brent. “Maka kecelakaan yang besarlah bagi
orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu
dikatakannya: ‘Ini dari Allah’, (dengan maksud) memperoleh keuntungan
yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi
mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan
kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.”
(Al-Baqarah: 79)
Pertanyaan dalam otak Brent belum
tuntas. Ia kembali bertanya-tanya, “Jika Injil dan Alquran sama-sama
memastikan Yesus bukanlah seorang anak Tuhan, lalu siapa dia?”
Lagi-lagi,
Brent menemukan banyak kesepakatan antara Injil dan Alquran. Melalui
ayat masing-masing, kedua kitab yang diselaminya itu menegaskan
kenabian Yesus. “Yesus diutus untuk menyeru umatnya pada keesaan Tuhan,
sebagaimana dilakukan para nabi dan rasul sebelumnya.”
Persoalan
agama itu menjadikan Brent semakin kritis, yang menggiringnya pada
berbagai pertanyaan besar tentang agamanya. Ia mempelajari berbagai
agama lain. “Aku mencari tahu tentang beberapa agama, aku mempelajari
paganisme, dan aku tertarik pada Islam.”
Di mata Brent
kala itu, Islam adalah agama yang sempurna. “Aspek ekonomi,
pemerintahan, semua diatur dengan baik dalam Islam. Aku kagum pada cara
Muslim memperlakukanku, dan aku sangat kagum pada bagaimana Islam
meninggikan derajat perempuan.”
Brent pun menyatakan
keinginannya untuk masuk Islam pada seorang teman Muslimnya. “Sayang,
ia memberitahuku bahwa aku tak bisa menjadi Muslim, hanya karena aku
dilahirkan sebagai Kristen. Karena tak mengerti, aku menerima informasi
itu sebagai kebenaran,” sesalnya.
Bagi pemuda kebanyakan
di Australia, bisa jadi kehidupan Brent nyaris sempurna. Ia mahir
memainkan alat musik, menjadi personel kelompok band, dan popular. Ia
bisa berpesta sesering apapun bersama teman-teman yang mengelukannya.
“Namun aku tidak bahagia dengan semua itu. Aku tak tahu mengapa.”
Namun
terlepas dari kondisi tidak membahagiakan itu, Brent sangat mencintai
musik. Ia mempelajari musik, memainkannya, mengajarkannya, dan menjadi
bahagia dengannya. Hingga ia berfikiran bahwa musik adalah agamanya,
karena mampu membuatnya bahagia.
Tanpa agama yang
menenangkan hatinya, Brent seolah terhenti di sebuah sudut dengan
banyak persimpangan. Perhentian itu membangunkannya di sebuah malam.
“Aku berkeringat dan menangis. Aku sangat ketakutan sambil terus
bergumam ‘Aku bisa mati kapanpun’,” tuturnya.
Dengan
keringat dan air mata itu, Brent memanjatkan doa. “Aku meminta pada
semua Tuhan; Tuhan umat Kristen, Tuhan umat Islam, Tuhan siapapun,
karena aku tak yakin harus meminta pada salah satu diantaranya.”
“Tuhan,
aku teramat sedih dan gundah dan tak tahu bagaimana menyelesaikannya.
Tolong, beri aku isyarat, beri aku petunjuk, beri aku jalan keluar,”
Brent mengutip doa yang diucapkannya 15 tahun lalu.
Isyarat Allah
menghampiri Brent keesokan harinya. Seorang Muslimah asal Burma yang
menjadi teman kampusnya mengiriminya sebuah email. Ia tahu Brent telah
tertarik pada Islam sejak belajar di sekolah menengah, dan dalam
emailnya itu ia bertanya apakah Brent masih tertarik pada Islam. Brent
mengiyakan.
Beberapa hari kemudian, teman asal Burma itu
datang ke rumah Brent dan membawakannya sejumlah buku tentang Islam.
Membacanya, Brent tahu bahwa Islam tak melarang non Muslim sepertinya
untuk memeluk agama itu. “Dari buku itu aku tahu bahwa banyak dari
sahabat Nabi saw, termasuk Abu Bakar, adalah mualaf. Aku sangat senang
dan berteriak dalam hati, ‘Ini yang kumau’.”
Selesai
dengan bacaannya, Brent mendatangi seorang teman Muslim dan memintanya
menjelaskan tentang jannah (surga). Dari penjelasan tentang surga itu,
bertambahlah kekaguman Brent, juga kemantapannya pada Islam. Masjid
Al-Fatih Coburg, Melbourne, menjadi saksi keislaman Bent Lee Graham.
Ia
lalu mengganti namanya menjadi Isa Graham. “Aku ingin orang (non
Muslim) tahu bahwa dalam Islam, kami juga mempercayai Yesus,” ujarnya.
Bagi Isa, mencintai seseorang tidak seharusnya diwujudkan dengan
menuhankannya, melainkan mengatakan segala sesuatu tentangnya apa
adanya. “Kini aku ingin menunjukkannya pada Yesus, bukan sebagai seorang
Kristen, namun sebagai Muslim,” tegas Brent menutup perbincangan.
kisahmuallaf.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Linkie ♥
You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "
Blogroll
Blogger templates
Become our Fan
Pages
Poll
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar